Yayasan Marennu Cerdas Sultra dalam Dugaan Korupsi CSR BI-OJK: Siapakah Direkturnya yang Disebut Kini Duduk Manis di DPRD Koltim?

DAERAH195 Dilihat

Sulawesi Tenggara – Kasus dugaan penyalahgunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2020–2023 terus menimbulkan gelombang. Gelombang itu bukan hanya menyentuh politik tingkat nasional, tetapi juga mulai mengalir ke daerah.

Pada 7 Agustus 2025 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua nama besar sebagai tersangka: Heri Gunawan dari Partai Gerindra dan Satori dari Partai NasDem. Keduanya, yang sama-sama pernah duduk di Komisi XI DPR RI, diduga menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang dengan nilai mencapai Rp28,38 miliar. Kasus yang awalnya terlihat sederhana kini melebar, setelah salah satu tersangka menyebut ada 44 anggota DPR RI lain yang ikut kecipratan dana CSR tersebut.

Nama Bahtra Banong pun ikut terangkat. Politikus asal Sulawesi Tenggara itu kini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR RI. Sebelum berpindah, ia lebih lama dikenal sebagai anggota Komisi XI—komisi yang bersentuhan langsung dengan BI dan OJK. Dari titik itulah namanya masuk dalam percakapan publik.

Ketua Bidang Hukum dan HAM PP GPI, Midul Makati, menambahkan satu potongan penting dalam puzzle ini. Dalam pernyataannya kepada media, ia menyebut Bahtra Banong diduga memanfaatkan sebuah yayasan bernama Marennu Cerdas Sultra, berlokasi di Kolaka Timur, sebagai penyalur dana CSR. Midul bahkan menyinggung bahwa direktur yayasan tersebut kini sudah menjabat sebagai anggota DPRD Kolaka Timur hasil Pemilu 2024. Tetapi, ia tak mengungkap siapa orang itu.

Sejak saat itu, nama Yayasan Marennu Cerdas Sultra kerap disebut. Namun, semakin disebut, semakin samar. Penelusuran lewat mesin pencari nyaris tak membuahkan hasil. Tidak ada alamat kantor yang jelas, tidak ada data pengurus yang bisa diakses publik, bahkan dokumen legalitas yayasan ini seakan lenyap dari radar. Yang muncul hanyalah berita-berita seputar kasus CSR BI–OJK yang menyeret nama Bahtra Banong.

Tim media mencoba menelusuri langsung ke Kolaka Timur. Sejumlah anggota DPRD setempat dihubungi lewat pesan singkat dan panggilan telepon. Respons mereka menunjukkan pola yang sama: bingung, heran, bahkan ada yang menegaskan baru sekali ini mendengar nama yayasan tersebut.

Salah seorang legislator daerah, ketika akhirnya menjawab setelah beberapa kali dihubungi, menyampaikan pernyataan singkat.

“Soal Yayasan Marennu Cerdas Sultra, saya sendiri baru mengetahuinya setelah ramai diberitakan media terkait dugaan aliran dana CSR BI dan OJK,” ujarnya pada Senin (22/9/2025).

Nada bicaranya datar, lebih seperti klarifikasi singkat daripada penjelasan panjang. Dari cara menjawab, tergambar ada jarak: seakan ingin menegaskan bahwa ia, dan mungkin juga rekan-rekannya, sama sekali tidak terlibat atau bahkan mengetahui seluk-beluk yayasan yang disebut-sebut itu.

Kontras terlihat di sini. Di satu sisi, nama yayasan muncul dalam pernyataan Midul Makati sebagai bagian dari dugaan skema penyaluran dana CSR yang melibatkan Bahtra Banong. Di sisi lain, di tingkat daerah, keberadaan yayasan ini nyaris tak dikenali.

Pertanyaan pun menggantung: apakah yayasan ini benar-benar eksis dan beroperasi, hanya saja kegiatannya tidak diketahui publik luas? Atau sebaliknya, yayasan ini hanya hadir di atas kertas, sekadar nama yang muncul untuk tujuan tertentu?

Dalam praktik umum, yayasan sering menjadi mitra program sosial. Dana CSR biasanya disalurkan melalui lembaga-lembaga semacam ini agar lebih mudah menjangkau masyarakat. Namun, celah yang sama bisa dimanfaatkan jika pengawasan longgar. Yayasan dapat menjadi saluran resmi sekaligus selubung, membuat aliran dana tampak sah meski penggunaannya menyimpang.

Apakah pola itu berlaku di Yayasan Marennu Cerdas Sultra? Belum ada bukti yang bisa mengarah ke sana. Yang ada baru potongan informasi—pernyataan seorang aktivis, respons singkat anggota dewan, dan absennya data publik yang bisa diverifikasi. Potongan-potongan itu belum cukup menjawab, justru membuka lebih banyak ruang untuk bertanya.

Jika dirangkai dalam garis waktu, benang merah peristiwa tampak samar namun konsisten. Dana CSR digelontorkan sepanjang 2020–2023. Awal 2024, laporan dugaan penyimpangan mulai beredar. Agustus 2025, dua nama besar ditetapkan tersangka. Tak lama kemudian, Bahtra Banong disebut-sebut dalam kaitan dengan sebuah yayasan di Kolaka Timur. Dan pada September 2025, anggota DPRD Koltim justru mengaku baru mengetahui keberadaan yayasan itu dari pemberitaan media.

Apakah Bahtra Banong memiliki keterkaitan langsung dengan direktur yayasan tersebut? Apakah direktur yang kini duduk di kursi DPRD Koltim memang pernah terlibat dalam penyaluran dana CSR? Atau semua ini hanya rangkaian kebetulan yang kemudian terhubung lewat spekulasi?

Hingga kini, KPK belum mengumumkan nama baru selain dua tersangka awal. Penyidik masih memeriksa pihak-pihak terkait, termasuk BI, OJK, dan yayasan-yayasan yang disebut dalam aliran dana.

Sementara itu, publik Kolaka Timur dan Sulawesi Tenggara dibiarkan menunggu, dengan satu tanda tanya besar yang belum juga terjawab: siapa sebenarnya direktur Yayasan Marennu Cerdas Sultra, dan apa hubungannya dengan Bahtra Banong dalam pusaran kasus CSR BI–OJK?.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *